“Dipaksa” Agar Terbiasa (Sentuhan Magis ala Pesantren)

Pendidikan ala Pesantren itu ciri-cirinya adalah menumbuhkan lalu membentuk karakter atau kepribadian santri untuk bisa tumbuh sejalan dengan usianya. Karenanya mutlak diperlukan keteladanan dari para guru, kyai atau pimpinan demi tercapainya proses ini. Disamping itu para santri tentu tidak akan lepas dari yang namanya latihan-latihan baik yang sifatnya penugasan-penugasan yang diterima langsung oleh para santri dari guru-guru mereka atau tugas-tugas lain dari pesantren. Hal inilah yang mungkin banyak tidak diketahui oleh khalayak ramai bahkan mungkin sebagian wali santri itu sendiri.

Proses pembelajaran di pesantren tidak hanya sebatas belajar saat dikelas saja, malah kegiatan yang dilakukan diluar kelas tidak kalah penting dari kegiatan belajar didalam kelas. Karena baik di dalam kelas atau diluar kelas semuanya merupakan satu kesatuan dari kurikulum pesantren (paket komplit). Maka, santri di pesantren itu tidak hanya sebagai objek pendidikan saja melainkan juga sebagai subjeknya. Ada banyak hal yang akan mereka perankan di dalam pesantren dan inilah yang menjadi salah satu perbedaan mendasar antara pesantren dengan sekolah lainnya bahwa di pesantren bukan hanya sekedar sekolah dengan aktifitas (Transfer of Knowledge) akan tetapi pesantren adalah “School of Being” yaitu pesantren sebagai tempat beramal, mengamalkan ilmu sekaligus mempraktekkan langsung apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-harinya.   Karena hakikat pendidikan yang dianut oleh pesantren adalah: “apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan itulah pendidikan”.

Gotong Royong (Jumat Bersih)

Terkadang jika kita berkunjung ke pesantren tertentu kita akan mendapatkan beberapa santri yang tidak masuk kelas atau tidak mengikuti kegiatan belajar didalam kelas karena mendapatkan tugas tertentu dari guru atau pesantren. Bagi sebagian orang hal ini merupakan sesuatu yang merugikan bagi santri tersebut karena telah meninggalkan kegiatan belajar yang mungkin juga itu adalah menjadi tujuan utamanya datang ke pesantren. Namun yakinlah mereka yang tidak mengikuti kegiatan belajar dikelas bukan serta merta tanpa kegiatan yang tidak berarti, justru mereka saat itu sedang belajar juga, hanya saja dalam konteks yang berbeda. Ada yang menjadi piket asrama, piket pintu gerbang, penerima tamu, menjaga dan mencari rumput untuk hewan yang akan disembelih waktu kurban, pada bagian tertentu ada yang harus keluar terlebih dahulu dari kelas karena harus standby di masjid untuk persiapan shalat jamaah dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka belajar arti sebuah tanggungjawab, amanah, kedisiplinan dan rasa memiliki (sense of belonging) yang kesemuanya itu adalah bahagian daripada latihan yang diterima para santri dimana buah dan hasil daripada latihan tersebut akan dirasa nanti setelah mereka keluar (tamat) dari pesantren.

Seseorang tidak akan tertarik terhadap sesuatu, jika tidak menjadi bagian darinya. Prinsip ini menjadi landasan filosofi pesantren bagaimana menumbuhkan sense of belonging para santrinya dikuatkan dengan penugasan-penugasan sebagaimana tersebut diatas.

Pesantren sejatinya sebagai tempat berlatih yang sangat ideal bagi para penuntut ilmu dengan segala kesederhanaannya. Pesantren yang juga merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat dengan ragam corak dan latar belakang berbeda mulai dari perbedaan suku hingga bangsa menyatu dalam satu kehidupan yang diatur oleh sebuah system yang sudah teruji bertahun-tahun lamanya. Layaknya kehidupan masyarakat diluar, kehidupan didalam pesantren juga tidak sepi dari gesekan-gesekan. Gesekan yang terjadi di kamar, kelas, lapangan dan tempat-tempat lainnya tak bisa dihindari karena memang demikian hukum yang dihasilkan dari sebuah gerak. Ingat salah satu ciri dari makhluk hidup itu adalah bergerak, tidak bergerak sama dengan mati. Siapa yang terlambat pasti ia akan ketinggalan, dan siapa yang ketinggalan pasti ia akan merugi. Tentu gesekan yang terjadi diupayakan untuk menghasilkan energy positive bukan negative.

Lomba Tarik Tambang uji kekompakan dan ketangkasan

Kenapa alumni pesantren itu ulet, lincah, sigap dan militan? Karena memang mereka selama di pesantren dilatih demikian dan semuanya itu tidak lepas dari proses penumbuhan dan pembentukan karakter semasa menjadi santri. Sehingga kebiasaan-kebiasaan selama menjadi santri itu terus membekas tidak hanya dikepala melainkan juga didalam hati. Namun semuanya itu tergantung sejauh mana kepekaan dan daya serap santri itu sendiri atas didikan pesantren, sebagaimana pepatah mengatakan: “Sebesar keinsyafanmu sebesar itu pula keuntunganmu”.

إن أحسنتم أحسنتم لأنفسكم وإن أسأتم فلها

Maka jika ada orang tua yang mengatakan kepada anaknya “Nak… kamu dipesantren gak usah terlalu capek, yang penting kamu belajar saja rajin masuk kelas, tidak usah ikut banyak kegiatan nanti kamu capek”. Sungguh ungkapan tersebut sangat bertolak belakang dengan doktrin pesantren itu sendiri. Para santri sejak kelas satu sudah belajar mahfudhat yang berbunyi:

وما الّذة إلّا بعد التّعب

Tidak ada kenyamanan itu melainkan setelah capek.

Bahkan Imam Syafi’i sendiri menyampaikan dalam sya’irnya:

سافر تجد عوضا عمن تفارقه  #  وانصب فإنّ لذيذ العيش فى النصب

Pergilah kamu niscaya kamu akan mendapatkan pengganti atas siapa saja yang kamu tinggalkan. Dan bekerja keraslah (capek) karena sesungguhnya nikmatnya hidup itu disaat kamu dalam keadaan kelelahan (capek).

Bukankah dunia ini tempat kita bercocok tanam yang hasilnya akan dinikmati kelak dihari akhirat. Maka tidak salah jika dipesantren ada sebuah istilah:

الراجة فى تبادل الأعمال والراحة فى الجنة

Istirahat itu adalah pergantian dari satu kegiatan ke kegiatan lain, dan istirahat yang sebenarnya itu nanti di surga.

Mula-mula santri dipaksa untuk bangun pagi akhirnya lama kelamaan terbiasa tanpa dibangunkan orang lain mampu bangun sendiri.

Dulunya belum bisa pakai sarung dan tidak terbiasa pakai sarung dengan cepat, sekarang bukan cuma cepat tapi juga rapi.

Awalnya terpaksa berbahasa Arab dan Inggris lama kelamaan jadi suka dan sekarang fasih mau belajar mandiri.

Latihan Muhadatsah/Conversation

Pertama-tama ogah dan merasa capek ikut pramuka, dengan sedikit paksaan akhirnya gak mau absen dikegiatan pramuka walau cuma sekali.

Latihan Pramuka

Latihan pidato momen yang kadang memaksa diri untuk absen dengan mencari seribu alasan karena belum siap mental, tapi pada akhirnya mentalpun semakin terasah dengan seringnya diberi kesempatan tampil walau sedikit dengan paksaan.

Lomba Pidato

Paksaan dalam upaya mendidik terkadang perlu untuk pembiasaan yang berkesinambungan.

“Saya bisa karena terbiasa, dan saya terbiasa karena awalnya dipaksa”. [HWP]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *