Persahabatan di Pesantren: Keluarga yang Tak Dipilih

Pesantren bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah dunia kecil yang menyimpan berjuta cerita dan makna. Di balik tembok sederhana dan lantunan ayat-ayat suci yang bergema setiap senja, pesantren menjadi rumah kedua bagi ribuan jiwa muda yang sedang menata hidup dan mencari arah. Di sinilah, dalam riuhnya kamar-kamar sempit dan dalam keheningan malam yang ditemani zikir, tumbuh ikatan yang tak selalu tampak oleh mata: persahabatan yang lahir dari keikhlasan, kebersamaan, dan perjuangan.

Para santri datang dari berbagai penjuru membawa sejuta harap dan segunung tekad. Mereka meninggalkan hangatnya rumah, peluk ibu yang menenangkan, dan nasihat ayah yang penuh harapan. Mereka tiba dalam suasana asing, dengan hati yang gemetar, canggung, bingung, bahkan takut. Namun di tengah kesendirian itu, takdir mempertemukan mereka dengan jiwa-jiwa lain yang merasakan hal serupa. Maka terciptalah ruang baru yang lambat laun dipenuhi senyuman, sapaan kehangatan, dan tawa yang membahagiakan.

Kehidupan di pesantren jauh dari kemewahan. Segalanya serba sederhana. Tidur berdempetan, antre panjang di dapur, makan bersama di meja panjang, dan baju yang dijemur berjejer. Namun justru dalam keterbatasan itu tumbuh nilai-nilai tak tergantikan: keikhlasan berbagi, kesederhanaan hidup, dan kekuatan untuk saling menopang. Di pesantren, kebersamaan bukan pilihan, tetapi kebutuhan. Dari kebutuhan itu lahirlah rasa saling memiliki, saling memahami, dan saling menjaga.

Persahabatan di pesantren adalah kisah tentang kesetiaan dalam kebersahajaan. Ia bukan soal seberapa sering tertawa bersama, tapi tentang siapa yang tetap bertahan saat air mata jatuh. Teman yang membangunkan subuh dengan suara serak, meminjamkan pulpen saat lupa membawa, duduk menemani saat sakit, atau rela berbagi lauk terakhir, adalah potongan cinta yang menyusun mozaik kehidupan seorang santri.

Tentu tidak semua hari berjalan mulus. Ada konflik karena sabun yang hilang, baju yang tertukar, atau candaan yang kelewatan. Tapi justru dari situlah para santri belajar menjadi manusia. Belajar mengalah, memahami, dan memaafkan. Gesekan menjadi ladang menumbuhkan jiwa besar. Setiap air mata di pojokan kamar dan setiap pelukan hangat menjadi saksi bahwa pesantren mendewasakan tanpa banyak kata.

Dan kelak, ketika kaki telah jauh melangkah meninggalkan gerbang pesantren, kamar yang dulu terasa sempit akan terasa lapang dalam ingatan. Pagi-pagi yang terburu-buru, suara ustaz/ah yang tegas, tilawah di malam Jumat, pembagian kosakata, semua berubah menjadi nada-nada rindu yang menyayat hati. Bunyi lonceng, langkah tergesa menuju mushala,  atau teguran saat lalai, kini menjadi kenangan yang tak ternilai. Suasana yang dulu berat berubah menjadi potongan kisah yang ingin terus dikenang. Pesantren pun hadir bukan hanya sebagai tempat singgah, tetapi rumah bagi kenangan yang membentuk jiwa.

Yang dikenang bukan hanya kitab-kitab yang dibaca atau jadwal piket yang melelahkan, tetapi tawa saat berebut makanan, dan air mata di malam perpisahan. Di situlah terlihat wajah-wajah yang setia membersamai dalam suka dan duka. Mereka bukan sekadar teman sekamar, tapi saudara seperjuangan. Ada pelukan di kala sedih, tepukan di kala ragu, dan semangat yang tetap menyala meski cahaya meredup. Semua itu bukan hanya melekat di pikiran, tetapi mengakar dalam jiwa.

Persahabatan di pesantren bukanlah persahabatan biasa. Ia adalah keluarga yang tak dipilih, namun dari ketidakterpilihan itu tumbuh ketulusan sejati. Bukan darah yang mengikat, tetapi cinta yang diuji oleh waktu, kedisiplinan, dan kebersamaan. Persahabatan ini bukan tentang berapa lama bersama, tetapi seberapa dalam ikatan itu terbentuk. Mungkin karena itulah ia menjadi lebih dari sekadar kenangan. Ia menjadi bagian dari takdir, takdir yang mempertemukan mereka yang Allah pilih untuk saling menemani dalam perjalanan menuju kedewasaan.

Oleh: Ustazah Cut Amalia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *