Guru adalah sebutan untuk pendidik yang tugasnya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Istilah guru berasal dari kata sangsekerta, dan secara etimologi terdiri atas dua kata yaitu gu (artinya kegelapan) dan ru (berati terang). Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari “digugu dan ditiru” (orang yang dipercaya dan diikuti), bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya atau profesinya mengajar. Pengertian guru dalam Undang undang No 14 tahun 2005 adalah tenaga pendidik profesional di bidangnya yang memiliki tugas utama dalam mendidik, mengajar, membimbing, memberi arahan, memberi pelatihan, memberi penilaian, dan mengadakan evaluasi kepada peserta didik yang menempuh pendidikannya sejak usia dini melalui jalur formal pemerintahan berupa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah.
Dalam literatur kependidikan Islam, banyak sekali kata-kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti murabbi, mu’allim, dan muaddib. Ketiga kata tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda-beda. Kata murabbi berasal dari kata rabba yurabbi yang berarti membimbing, mengurus, mengasuh, dan mendidik. Sementara kata mu’allim merupakan bentuk isim fa’il dari ‘allama yu’allimu yang biasa diterjemahkan mengajar atau mengajarkan. Selanjutnya istilah muaddib berasal dari akar kata addaba yuaddibu yang artinya mendidik. Di samping itu, seorang guru juga biasa disebut sebagai ustaż. Kata “ustaż” mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya, dan dikatakan profesional apabila pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang hidup di masa depan. Selain itu, dalam bahasa Arab guru juga sering disebut dengan mudarris yang merupakan isim fa’il dari darrasa, yang berarti meninggalkan bekas, maksudnya guru mempunyai tugas dan kewajiban membuat bekas dalam jiwa peserta didik. Bekas itu merupakan hasil pembelajaran yang berwujud perubahan perilaku, sikap, dan penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Guru memiliki beberapa tanggung jawab antara lain tanggung jawab moral, tanggung jawab dalam bidang pendidikan di sekolah, tanggung jawab dalam bidang kemasyarakatan dan tanggung jawab dalam bidang keilmuan. Dalam dunia pendidikan di sekolah tugas utama seorang guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Adapun seorang guru dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia. Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan (guru), sehingga hanya mereka sajalah yang pantas mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَع ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujaadalah/58:11) .
Keutamaan seorang guru disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Muhammad Muntahibun Nafis mengatakan bahwa tugas guru adalah sebagai warasat al-anbiya’, yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat lil ‘alamin, yaitu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kemudian misi itu dikembangkan pada suatu upaya pembentukan karakter kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal sholeh, dan bermoral tinggi. Dan kunci untuk melaksanakan tugas tersebut, guru dapat berpegangan pada amar ma’ruf nahi munkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi iman, islam, dan ihsan.
Menjadi seorang guru bukanlah perkara mudah, ia mempunyai tanggung jawab yang sangat berat baik di dunia maupun diakhirat. Kesalahan dalam mendidik dapat menjerumuskan peserta didik dalam kebatilan, dan tak dapat dibayangkan jika kesalahan tersebut diteruskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Sebaliknya, jika yang diajarkan adalah suatu kebenaran, maka akan mengantarkan peserta didik kepada yang Haq atau kebaikan, dan jika kebaikan itu diteruskan kepada generasi selanjutnya maka pahala yang didapatkan akan terus mengalir, dengan demikian menjadi ‘amal jariyah. Seperti hadist Rasulullah saw.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).
Kehadiran seorang guru dalam dunia pendidikan sangatlah penting, begitu pentingnya hingga tidak dapat digantikan oleh teknologi. Saat ini pekembangan teknologi semakin canggih, sehingga dengannya peserta didik mudah mengakses dan mendapatkan ilmu, namun peranan seorang guru sebagai uswatun hasanah atau pemberi contoh yang baik, sebagai pendidik, pembimbing dan motivator tidaklah dapat dilakukan oleh teknologi. Oleh sebab itu sampai saat ini, guru merupakan salah satu profesi yang masih terus bertahan dan tidak tergerus oleh canggihnya teknologi.
Hal ini dapat dirasakan saat pandemi Covid-19. Sejak pemerintah mengumumkan kasus covid-19 di Indonesia pada awal bulan Maret 2020, maka pemerintah mengambil keputusan untuk menghentikan sementara kegiatan yang melibatkan banyak orang, termasuk kegiatan belajar mengajar di Sekolah, dan semua kegiatan dilakukan di rumah. Tak terkecuali belajar. Guru dan siswa dianjurkan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar secara Daring (dalam jaringan). Di awal pembeajaran dirasakan mudah dan menarik karena ini merupakan hal yang baru, namun seiring berjalan waktu berbagai keluhan mulai bermunculan baik dari guru, peserta didik,dan bahkan orang tua peserta didik. Lambat laun suasana pendidikan di sekolah dan interaksi antara sesama peserta didik dan guru mulai dirindukan, kondisi yang demikian menyadarkan kita bahwa hakikat pendidikan bukan hanya mendapatkan ilmu pengetahuan saja namun bimbingan secara langsung dan interaksi sosial sangatlah dibutuhkan. Dari hal itu benar adanya yang dikatakan oleh pimpinan pondok pesantren Darussalam Gontor K.H. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA :
الطٌّرِيْقَةُ اَهَمُّ مِنَ الْمَادَّةِ وَ الْمُدَرِّسُ اَهَمُّ مِنَ الطَّرِيْقَةِ وَ رُوْحُ الْمُدَرِّسِ اَهَمُّ مِنَ الْمُدَرِّسِ
“Cara atau Metode itu lebih penting dari pada Materi (Materi pengajaran), dan Guru lebih penting dari Metode, dan Ruh (Jiwa ) seorang Guru itu lebih penting lagi dari guru itu sendiri”.
Istilah tersebut juga memberikan jawaban bagi semua orang mengapa kecintaan peserta didik terhadap guru berbeda-beda. Mungkin karena totalitas ruh yang dihadirkan oleh guru itu sendiri terhadap peserta didiknya.
*Penulis: Ustz. Juarnida, S.Pd (Guru Bidang Studi Kimia).