Tawadhu’ atau rendah hati adalah salah satu sifat yang sangat terpuji dimana sifat ini merupakan cerminan daripada kematangan seseorang dalam prilaku, sikap dan tutur kata. Namun dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat acap kali kita mendapati prilaku seseorang yang justru sebaliknya, mengapa? Kehidupan yang serba modern terkadang menjadi pemicu minimnya sifat tawadhu’ di kalangan ummat manusia. Bisa dilihat dari bagaimana cara seseorang dalam bertutur kata, memposisikan diri dalam majelis, membedakan mana yang tua dan yang muda, mereka lebih meninggikan gengsi dari pada harus bersikap tawaddu’.
Seiring dengan berjalannya teknologi di era modern seharusnya yang harus diperbaiki itu bukanlah gengsi akan tetapi adab, baik dari segi apapun dan dimanapun. Sebagian orang mungkin tidak tahu jikalau orang yang memiliki sikap tawadhu’ adalah mereka yang sangat beruntung. Apa buktinya? Dalam penggalan kata-kata mutiara pernah disebutkan bahwa kita semestinya memiliki sikap tawaddu’ karena dengan kita memiliki sikap ini kita dibaratkan bintang yang dapat dilihat dengan terang bahkan jika dari pantulan air pun dia dapat dilihat dengan jelas meskipun dia jauh disana, akan tetapi janganlah kamu seperti asap, dimana asap itu dia sombong, dia terus bisa terbang tinggi akan tetapi di kejauhan asap itu akan hilang.
Dari penggalan kata kata mutiara di atas dapat dicerna bahwa jadilah kamu seperti bintang, meskipun dia jauh dilangit tetapi ia tetap dapat dilihat diibaratkan meskipun ilmunya tinggi dan dia memiliki sikap tawadhu’, maka dia akan tetap dikenang, tetapi janganlah kamu memiliki sikap seperti asap, dimana dia semakin tinggi gengsinya semakin sombong padahal dengan kesombongan itu orang muak melihatnya dan melupakannya.
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر
على صفحات الماء وهو رفيع
ولا تكن كالدخان يعلو بنفسه
إلى طبقات الجوّ وهو وضيع
Artinya: Rendah hatilah laksana bintang yang kelihatan rendah bagi yang melihatnya pada permukaan air adahal ia sendiri tinggi di atas sana,
Janganlah anda bagaikan asap membumbung tinggi dengan sendirinya ke lapisan-lapisan udara, padahal ia sendiri hina (tidak ada apa-apanya).
Penulis: Sultan Al-Faiz (Santri kelas V)