Enam Pilar Penting untuk Meraih Ilmu.

Ustadz Dhiauddin, M.Pd

Suasana apel pagi di[Pesantren Terpadu Almuslim/Kampus Putra] pada hari ini, Sabtu, [18/10/2025], diwarnai dengan Nasihat yang mendalam dari Ustadz Dhiauddin, M. Pd. Selaku pembina apel, beliau menyampaikan nasihat berharga tentang enam syarat fundamental untuk meraih ilmu pengetahuan. Mengawali pembinaannya, Ustadz Dhiauddin mengutip sebuah syair hikmah yang masyhur, ”

أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ … سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ”

yang artinya, “Wahai saudaraku, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam syarat, akan kujelaskan rinciannya kepadamu dengan jelas.” Syair ini, menurut beliau, adalah peta jalan yang jelas bagi setiap penuntut ilmu, dari pelajar hingga akademisi, untuk mencapai tujuan mereka.

Ustadz Dhiauddin kemudian memaparkan tiga syarat pertama yang bersifat internal,yaitu dzakaa’ (kecerdasan), hirs (kemauan keras), dan ijtihad (ketekunan). Beliau menekankan bahwa kecerdasan adalah anugerah Allah yang harus disyukuri dan dikembangkan. Dalil yang mendasari hal ini adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 269,

“يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا”

(“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak.”). Namun, kecerdasan harus dipacu dengan kemauan keras dan ketekunan tanpa henti. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, “إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ” yang artinya “Sesungguhnya ilmu itu hanya diperoleh dengan belajar (yang tekun).”

Selanjutnya,Ustadz Dhiauddin beralih kepada tiga syarat eksternal, yakni bulghah (biaya), shuhbah ustādz (berguru), dan thūluz zamān (waktu yang lama). Beliau menjelaskan bahwa kesungguhan dalam menuntut ilmu juga diwujudkan dengan pengorbanan materi, sebagaimana perintah Allah untuk mempersiapkan beban perang. Hal ini sejalan dengan semangat QS. At-Taubah ayat 41, “انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا” (“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan maupun berat.”). Kemudian, tentang pentingnya berguru, beliau mengutip perkataan Imam Syafi’i,

“مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً … تَجَرَّعَ ذُلَّ الْجَهْلِ

طُولَ حَيَاتِهِ”

(“Barang siapa yang tidak merasakan pahitnya belajar sesaat, ia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.”). Seorang guru, tegasnya, adalah kompas yang mencegah seorang penuntut ilmu dari kesesatan.

Menutup pembinaannya,Ustadz Dhiauddin, M. Pd., memberikan contoh nyata yang menyatukan keenam syarat tersebut. Bayangkan seorang dokter; ia memerlukan kecerdasan analitis yang tajam, kemauan kuat untuk membantu sesama, dan ketekunan luar biasa selama pendidikan. Biaya kuliah dan praktik harus dikeluarkan, bimbingan dari dosen dan dokter senior mutlak diperlukan, dan prosesnya memakan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya ia diakui sebagai seorang ahli. Inilah esensi dari thūluz zamān. Beliau mengingatkan bahwa kesabaran dalam proses yang panjang ini adalah bagian dari ibadah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-‘Ashr ayat 1-3 tentang pentingnya waktu dan kesabaran.

Keenam pilar ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Proses menuntut ilmu adalah perjalanan holistik yang memadukan potensi diri, pengorbanan, bimbingan, dan ketabahan dalam menjalani waktu yang lama, sebagaimana terbukti dalam dalil Al-Qur’an, Hadits, dan perkataan ulama. Hanya dengan memenuhi semua syarat inilah ilmu dapat dikuasai secara mendalam dan diwujudkan untuk kemaslahatan umat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *