Dinamika Kehidupan Santri di PTA

Kehidupan di pesantren tak akan pernah habis untuk dibahas dan diceritakan. Dinamika didalamnya seakan selalu menarik untuk diperbincangkan. Sebuah kehidupan yang tidak pernah berhenti dari sebuah kegiatan yang dimulai dari bangun pagi, belajar pagi siang dan malam lalu tidur hingga bangun lagi. Ragam kegiatan yang telah diatur sedemikian rupa dengan maksud pendidikan, yaitu: melatih para santri untuk hidup dinamis tidak statis, tidak hanya bergerak melainkan juga harus bisa menggerakkan bahkan tidak hanya sekedar hidup melainkan juga menghidupi kehidupan yang sedang dijalani di pesantren.

Kehidupan di pesantren merupakan miniatur kehidupan di masyarakat pada umumnya. Para santri yang datang menuntut ilmu ke pesantren berasal dari berbagai daerah, suku bahkan bangsa yang berbeda. Kemajemukan ini mengajarkan para santri untuk hidup toleran dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Tak dapat dipungkiri setiap hari bahkan setiap detiknya gesekan itu pasti ada dalam kehidupan di pesantren. Disinilah peran pesantren dalam mengelola gesekan itu menjadi energi yang positif, sehingga dinamika yang ada mengarah kepada kebaikan, kebaikan dalam pendidikan yang ada di pesantren.

Sesuai dengan faham pendidikan yang dianut pesantren yaitu: “apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan adalah pendidikan”. Singkatnya adalah semua yang ada di pesantren ini adalah murni muaranya untuk pendidikan.

Jika menilik rutinitas para santri mulai bangun pagi hingga tidur malam hari rasanya sangat berat untuk dijalani. Namun nyatanya tidak bagi para santri yang dinamis. Buktinya para santri bisa melalui hari-hari mereka dengan tanpa hambatan. Hanya saja diperlukan kesabaran dan ketabahan bukan hanya dari para santri itu sendiri, melainkan juga para orang tua. Terkadang santri yang menjalani padatnya rutinitas yang ada, tak ada masalah dengan itu semua, malah justru terkadang orang tua yang belum bisa melepas anaknya dengan sepenuh hatilah yang terkadang juga bisa mengganggu proses pendidikan anak-anaknya di pesantren.

Ada beberapa kejadian unik yang dilaporkan oleh beberapa wali santri terkait anak-anaknya. Seorang wali datang lalu bertanya, “Sebelumnya anak saya kalau dijenguk biasa saja ustadz, tapi sekarang kenapa ketika saya datang menjenguk disuruh cepat pulang, ustadz apakan anak saya?” (dengan nada bercanda). Sang ustadz pun menjawab, “mungkin anak bapak sudah betah atau bisa jadi bapak datangnya tidak diwaktu yang tepat bagi anak bapak”. Karena pada saat itu waktunya olahraga. Waktu olahraga merupakan saat yang dinanti-nanti oleh para santri khususnya santri putra guna bermain dan refreshing setelah selama seharian penuh menjalani kegiatan belajar di kelas. Ada juga orang tua yang awalnya biasa menjenguk anaknya sekali dalam dua hari guna mengambil pakaian kotor anaknya untuk dicucikan dirumah, mengingat jarak rumah dengan pesantren tidaklah terlalu jauh. Hal ini hanya berlaku selama satu bulan, karena dibulan kedua sang anak meminta kepada orang tuanya untuk tidak lagi datang guna mengambil pakaian kotornya. Sang ibu yang waktu itu datang kaget dan bertanya; “Kenapa gak boleh mamak bawa pulang pakaian kotor abang, siapa nanti yang mencuci?”. Abang cuci sendiri, abang mau mandiri sekarang. Sang ibupun tambah kaget sembari bertanya lagi. “Nanti siapa yang gosok bajunya?”. Nanti biar abang lipat dan abang taruh dibawah kasur. Sang ibupun mencoba mengalah dengan mengatakan “yasudalah kalau memang itu maunya abang”. Namun tidak semua orang tua akan menerima alasan seperti ini, mengingat usia mereka yang baru menginjak 12 tahun ditambah lagi sang anak belum pernah memiliki pengalaman mencuci pakaian sebelumnya, tapi sebuah perubahan sikap anak yang mungkin terkadang sulit diterima oleh sebagian orang tua karena menurut sebagian orang tua bahwa tugas anak itu cukuplah belajar saja di pesantren sementara urusan mencuci baju itu tanggungjawab ibu dirumah. Ditambah lagi hasil yang tidak maksimal seperti kurang bersihnya hasil cucian. Bukankah segala sesuatu itu butuh proses dan untuk menjalani proses itu perlu sebuah latihan dan pembiasaan. Disadari atau tidak hal seperti ini merupakan awal dari keinginan besar sebagian anak untuk berlatih sedini mungkin arti sebuah tanggungjawab dan kemandirian.

Sebagai orang tua sebetulnya kita harus bersyukur dengan padatnya kegiatan anak-anak kita di pesantren. Sebab kesibukan mereka adalah terkait dengan pendidikan bukan yang lainnya. Sebelum ayam berkokok para santri sudah bangun guna shalat subuh berjama’ah disambung membaca alquran (tahfidh) dan pembagian kosa kata lalu mandi dan makan pagi. Lanjut dengan program sekolah pagi hingga dhuhur dan langsung shalat berjamaah, makan siang terus sekolah siang hingga Ashar dengan shalat berjamaah dan baca al Quran. Selanjutnya jam bebas yang biasa diisi dengan olahraga, kursus dan kegiatan ekstra lainnya, terkadang ada yang mencuci baju dan lain-lain. Kemudian mandi untuk persiapan shalat maghrib lalu disambung dengan makan malam. Makan malam usai disambung dengan shalat isya berjamaah kemudian belajar malam hingga pukul 21.50 wib terakhir ditutup dengan tidur malam.

Waktu sangatlah berharga bagi para santri sehingga terkadang tak ada yang kepikiran untuk jalan-jalan membawa motor ngetrek, pergi ke warnet main game, main hp dan lain-lain seperti kebanyakan yang dilakukan oleh anak seusianya diluar sana. Kita tak perlu khawatir atau sedih kalau anak-anak kita dipesantren akan ketinggalan zaman karena kurang update tentang gadget atau sejenisnya. Lebih baik kita bersedih saat ini karena berpisah sementara dengan anak-anak kita dalam rangka pendidikan menuntut ilmu dipesantren dari pada nanti anak-anak kita sibuk dengan kesibukan dunia yang mengakibatkan mereka lalai dan kita para orang tua dibuat sedih karenanya.

HWP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *